Oei Hui Lan : Kisah Tragis Putri Orang
Terkaya di Indonesia ( Cuplikan Novel)
Oei hui laan adalah putri orang terkaya di Indonesia yang kekayaan ayahnya mencapai 200 juta dollar us pada era 1900-an atau setara 200 miliar di jaman sekarang. Ia juga adalah istri dari perdana menteri China. Gadis kelahiran indonesia ini berkisah tentang hidupnya. sebuah gambaran yang paling suram sebagai orang kaya yang menyadari hidupnya akan pergi tanpa membawa apapun selain kenangan indahnya bersama ayahnya..
Saya lahir di Semarang, Desember 1889 sebagai Oei Hui Lan, putri
Oei Tiong Ham yang pernah dikenal sebagai Raja Gula dan oran terkaya di Asia
Tenggara. Ibu saya istri pertamanya. Ibu hanya mempunyai dua orang anak, kedua
duanya perempuan. Kakak saya Tjong lan, delapan tahun lebih tua dari saya. Ayah
masih mempunyai 42 anak dari 18 gundik. Bagi orang Cina, anak gundik pun
dianggap sebagai anak sah.
Saya duga, anak ayah lebih banyak daripada itu, tetapi cuma anak
laki laki yang kelingkingnya bengkok yang diakuinya sebagai putranya.
Kelingking bengkok diwarisi ayah dari ayahnya. Tjong Lan berkelingking
bengkong. Kelingking saya lurus. Namun ayah tidak meragukan saya sebagai
anaknya, sebab mana mungkin ibu saya serong dengan pria lain.
Wajah Kakek dianggap
membawa Rezeki
Kakek saya Oei Tjie sien berasal dari Amoy, di daratan Cina.
Pada masa mudanya ia senang bertualang. Ia terpelajar dan konon tampan seperti
Raja Umberto dari Italia, tetapi seingat saya ia pendek dan gemuk.
Karena ikut pemberontakan Taiping, ia menjadi buronan pemerintah
Mancu. Terpaksa ia kabur ke sebuah jung yang akan berangkat. Setelah berlayar
berbulan-bulan, tibalah ia di Semarang, Jawa. Ia turun tanpa membawa uang
sepeserpun dan pakaiannya hanya yang melekat di badan. Di tempat asing yang
bahasanya sama sekali tidak dikenalnya itu, ia hanya bisa menawarkan tenaga
mudanya.
Mula-mula ia bekerja di pelabuhan, menghela jung-jung yang
kandas di lumpur. Ia menyewa penginapan murah tempat para pendatang Cina tidur
menggeletak di lantai papan. Pada suatu malam, pemilik gubuk bambu itu melihat
pemuda yang sedang tidur kelelahan itu. Wajah pemuda itu dianggapnya membawa
rezeki. Pemilik gubuk kebetulan mempunyai banyak anak perempuan. Pemuda itu
dibangunkannya untuk dilamar menjadi menantunya. Oei Tjie sien mau saja. Calon
istrinya baru berumur 15 tahun, tubuhnya kuat dan sifatnya penurut.
Mereka menikah tanpa pesta apa pun. Perempuan muda itu bekerja
keras membantu suaminya. Ia melahirkan tiga anak putra (yang seorang meninggal
saat masih bayi) dan empat putri. Sementara itu Oei Tjie Sien keluar masuk
kampung memikul barang kelontong. Kadangkadang dari kampung ia membawa beras
untuk dijual di kota.
Lama kelamaan , ia menjadi makmur berkat beras. Dikirimkannya
uang ke Cina untuk membeli pengampunan, sehingga ia bisa berkunjung ke cina,
sekalian memperkenalkan putra sulungnya, Oei Tiong Ham, kepada orang tuanya.
Petama kali diajak ke Cina itu, umur ayah baru tujuh tahun. Ia lahir 19
November 1866.
Potong Kuncir Lalu ke
Eropa
Kakek berakar di Jawa. Anak-anaknya, bisnisnya dan bahkan
makamnya pun ada di pulau itu. Namun ia selalu menganggap dirinya orang Cina
dan disebut singkeh, tamu baru. Ia hidup seperti di Amoy, makan makanan Hokkian
saja, berbahasa Hokkian saja (ia paham bahasa Melayu tetapi cuma bisa
mengucapkan beberapa kata) dan selalu memakai pakaian cina. Karyawannya semua
orang Cina, yang berhitung dengan sempoa.
Nenek saya tidak pernah keluar rumah, kecuali kalau ada upacara
pembersihan makam keluarga. Kegiatannya cuma main mahyong dan kadang kadang
mengisap pipa air. Ia tidak pernah mengunyah sirih, berlainan dengan nenek saya
dari pihak ibu.
Namun kakek saya Oei Tjie Sein dan tanda tangannya pun Oei Tjie
Sein. Namun ia ingin disebut Kiangwan. Perusahaannya disebut Kian gwan kongsi.
Anehnya nenek saya menganggap dirinya Kong si. Jadi kalau menyuruh pelayan
umpamanya, ia berkata ,”Kongsi ingin anu.” Kalu berbicara dengan ayah umpamanya,
ia berkata Kongsi tidak suka anu.” Ayah juga kemudian memilih anam Tai gawan.
Menjelang lanjut usia, kakek lebih banyak berada di rumah
peristirahatannya di luar kota, ketimbang di rumah lamanya di pecinan, walaupun
kantornya tetap disana. Soalnya, ia mempunyai dua gundik yang ditempatkan di
rumah peristirahatannya itu. Gundik yang seorang adalah seorang perempuan cina
yang cantik, yang kulitnya putih mulus seperti porselin dan rambutnya hitam
lebat. Kalau sanggulnya dilepas, rambutnya terurai mencapai mata kaki. Kakek
lekas bosan kepadanya. Perempuan itu ditempatkannya di sebuah rumah kecil di
lahan kakek yang luas itu. Makanan dan pakaiannya dicukupi. Keluarganya boleh
menjenguk sekali sekali. Namun apalah artinya kalau kakek tidak pernah
mengunjunginya. Saya heran perempuan muda itu bisa bertahan agar tidak menjadi
gila.
Di rumah utama, kakek tinggal dengan seorang gundik yang paling
dikasihinya. Perempuan itu berkulit hitam dan wajahnya buruk. Ia bertelanjang
kaki, mengenakan sarung dan tidak bisa berbahasa Cina. Mereka memiliki dua
orang anak yang kulitnya berwarna terang. Saya tidak pernah melihatnya, sebab
ketika kakek meninggal ayah memberikan uang dan menyuruhnya pergi bersama anak
anaknya, yang tidak diakui ayah sebagai saudaranya. Gundik kakek yang cantik
dinikahkan dengan seorang karyawan ayah.
Nenek tidak penah diundang kakek ke rumah peristirahatannya.
Walaupun nenek ingin sekali datang. Dekat rumah itu, kakek sudah menyediakan
mausoleum untuk makamnya, yang dibangun selama 25 tahun. Nenek meninggal lebih
dulu daripada kakek. Ketika kakek meninggal, ia mewariskan 10 juta gulden atau
kira kira AS$ 7 juta. Buat ukuran jawa waktu itu, jumlah itu besar sekali.
Saat itu ayah sendiri sudah kaya. Jadi ia meminta kakek
menyerahkan rumah besar di Pecinan kepada adik ayah, yang lebih suka menjadi
seniman daripada pedagang. Adik-adik ayah yang perempuan mendapat warisan juga.
Sejumlah uang disisihkan pula untuk menolong orang orang bermarga Oei yang
memerlukan bantuan.
Sesudah kakek meninggal, ayah menjadi kepala keluarga besar kami
dan kami pun bebas melakukan hal-hal yang tadinya dilarang kakek. Yang pertama
dilakukan ayah adalah meminta izin khusus kepada penguasa Belanda untuk
memotong jalinan rambutnya. Kami pun berkunjung ke Eropa untuk perama kalinya.
Masa itu perjalanan dengan kapal makan waktu 35 hari. Bagi kakek, dunia ini
cuma Cina, tetapi dunia ayah lebih luas.
Janda Yang Baik Hati
Sebelum ayah mulai berusaha mencari nafkah sendiri, ia membantu
kakek. Salah satu tugasnya adalah mengumpulkan uang sewa rumah. Suatu hari,
setelah berhasil menggantungi 10,000 gulden, ia lewat ke tempat perjudian dan
tidak bisa mengekang nafsunya untuk berjudi. Uang bawaannya amblas.
Keluar dari rumah perjudian, baru ia insaf apa akibat
kekalahannya di meja jugi itu. Ia tidak punya muka untuk berhadapan dengan
ayahnya karena telah berani mempergunakan uang yang bukan miliknya. Kakek bukan
hanya tidak suka pada perjudian, tetapi juga keras terhadap anak. Ayah merasa
dirinya hina dan bermaksud menceburkan diri dari jembatan. Namun ia ingin
mengucapkan selamat berpisah dulu dari kekasihnya, seorang Janda. Janda itu
mendesak ayah untuk menerima uangnya sebanyak 10,000 gulden. Akhirnya, ayah mau
juga menerimanya. Kebaikan janda itu tidak pernah dilupakan ayah. Ia bukan cuma
mengembalikan uang itu, tetapi juga menjamin hidup janda yang menyelamatkan
nyawanya itu.
Kakek selalu hidup hemat, ayah sebaliknya. Kakek sering memarahi
ayah karena kesenangannya bermewah mewah itu. Suatu hari, karena kesel
dimarahi, ayah berkata kepada nenek,“Suatu hari kelak, saya akan lima puluh
kali lebih kaya daripada ayah.“Hal itu memang terlaksana.
Mulanya begini: Salah sebuah rumah milik kakek ditinggali
seorang Jerman yang sudah lanjut usia. Mantan konsul itu ingin sekali membeli
rumah dengan tanah luas yang mengelilinginya itu, tetapi kakek tidak mau
menjualnya. Menurut orang Cina, menjual salah satu miliknya berarti kehilangan
gengsi. Jadi mantan konsul itu mendekati ayah yang diketahuinya akan mewarisi
rumah dan tanah itu.
Saya akan memberi Anda sejumlah uang yang bisa Anda tanamkan
sekehendak hati,“usul orang Jerman itu.“Kalau uang itu amblas, saya tidak akan
mengeluh. Kalau berkembang sampai sepuluh kali lipat atau lebih, berikanlah
rumah dan tanah itu untuk saya pergunakan seumur hidup.
Pada dasarnya ayah seorang penjudi. Ia selalu yakin nasib baik
berada ditangannya. Karena itu ia juga lebih suka mempunyai karyawan yang
kepandaiannya sedang sedang saja tetapi rezekinya besar daripada memperkerjakan
orang yang pandai yang tidak mempunyai hoki. Namun selain mengandalkan hoki,
tentu saja ia juga pandai melihat situasi dan memanfaatkannya.
Tawaran dari mantan konsul itu sama saja dengan tantangan untuk
berjudi. Jadi ia bertanya berapa jumlah uang yang akan diberikan oleh bekas
konsul. Jawabannya mencengangkan dia: AS$ 300,000. Ayah segera setuju, tetapi
tidak berburu nafsu menanamkan uangnya. Ia berpikir ayahnya menjadi kaya berkat
beras. Jawa memang cocok ditanami padi, sementara itu tenaga kerja dan lahan
murah. Tebu juga terbukti cocok ditanam di tanah Jawa. Jadi, ayah membeli lahan
luas untuk ditanami tebu. Masa itu Revolusi Industri belum sampai ke Jawa,
tetapi ayah sudah mendengarnya,. Ia mendatangkan ahli ahli dari Jerman untuk
memberi nasihat perihal mesin mesin yang diperlukan untuk bercocok tanam dan
mengolah tebu menjadi gula. Ia mendatangkan mesin mesin dan lewat mantan konsul
ia juga mengirimkan pemuda pemuda ke Eropa untuk belajar menjalankan mesin
mesin itu dan membetulkannya.
Suksesnya berkesinambungan sebab ia tidak pernah puas. Ia peka
terhadap setiap pembaharuan dan gagasan, sehingga tidak henti hentinya
menyekolahkan karyawan ke luar negeri supaya bisa mempelajari hal hal yang
baru. Mesin mesinnya terus diperbaharui dan pabriknya mendapat aliran lsitrik
lebih dulu daripada kediamannya.
Ayah berkata kepada saya,”Jangan mau jadi orang biasa biasa
saja. Kita mesti menjadi orang nomor satu.” Kemudian ayah melebarkan sayapnya
ke luar negeri dan ke bidang bidang lainnya seperti kopra. Sekali ia
menunjukkan kepada saya perkebunan kopranya di luar kota Singapura. Saya
berseru kagum ketika melihat tanaman indah itu. Ayah berkata,”Orang lain
melihat pohon, aku melihat uang. Pohon kelapa tidak meminta banyak perawatan,
tetapi mendatangkan banyak uang.”
Menurut saya, ayah bukan cuma berhasil berkat hoki, tetapi
terutama oleh kepercayaan dirinya yang timbul karena ia menguasai bidang yang
ia geluti. Akibatnya ia bisa cepat memutuskan segala sesuatu . Ia juga memiliki
kepekaan untuk memilih waktu yang tepat.
Membuka Perwakilan di
Wallstreet
Pada kunjungan kami yang pertama di Eropa, ayah membuka kantor
perjualan di London dan Amsterdam. Untuk mewakilinya di Amsterdam, ayah
memperkerjakan seorang Belanda bernama Peters, yang selalu saya panggil Pietro.
Ayah mempunyai kapal-kapal sendiri untuk mengangkut gula, kopra, dan tepung
kanji. Ayah yang tidak bisa berbahasa belanda, inggris, maupun Perancis itu
kemudian membuka perwakilan di Wallstreet, New York.
Asal Muasal ia mengusahakan tapioka itu begini: suatu ketika
seorang pemilik pabrik tapioka di Semarang ingin menjual pabriknya yang merugi
terus. Ayah menukarkannya dengan sebuah rumah kecil. Pabrik itu diperbaikinya
dan dilengkapinya dengan mesin mesin. Tidak lama kemudian ia sudah menjual 1,5
juta ton tapioka ke Asia Timur laut.
Ketika kakek meninggal, ayah menerima warisan rumah mantan
konsul jerman itu. Sebetulnya ayah bisa membayar kembali uang pinjamannya
beberapa kali lipat, namun ia menepati janjinya.
Bandul intan 80 karat
Ketika ayah saya menjadi kayaraya dan mendapat gelar kehormatan
Majoor der Chinezen (1901) , saya sering ikut dengannya melakukan perjalanan
perjalanan bisnis. Ayah berpesan kepada para sekretarisnya.,”Belikan dia semua
yang diinginkannya”. Saya pun terbiasa untuk diistimewakan, untuk menyimpang
dari peraturan yang berlaku dan untuk mengharapkan semua orang tahu bahwa saya
anak ayah yang berkuasa.
Tidak ada seorang anak Belanda pun yang memiliki rumah boneka
seindah kepunyaan saya. Tingginya sedagu saya, dibeli Pietro di Eropa. Saya
bisa merangkak masuk ke dalamnya. Perlengkapannya komplet dan penuh detail. Di
kamar mandinya ada handuk yang serasi. Ranjangnya memakai per dan kasur. Dalam
lemari pakaiannya bergantungan pakaian boneka boneka saya. Di dapurnya ada
panci, alat penggoreng, garpu dan pisau.
Di belakang rumah kami ada kebun binatang, berisi kera, rusa,
beruang, kasuari, dll. Kalau ayah kembali dari bepergian, ia selalu membawa
hadiah untuk saya spasang kuda poni, sepasang anjing chihuahua, boneka atau
apasaja.
Umur saya belum tiga tahun ketika ibu mengalungkan bandulan intan
80 karat ke leher saya. Besar intan itu sekepalan tangan saya dan tentu saja
menganggu gerak gerik dan bahkan menyakitkan saya. Namun ibu tidak perduli.
Suatu hari ketika pengasuh memandikan saya, ibu melihat dada saya luka akibat
intan itu. Barulah ibu melepaskannya. Sampai buku ini ditulis. Intan itu masih
saya miliki, tersimpan di sebuah bank di London.
Jago Menyogok, tapi
pantang disogok.
8711_smallKetika masih kecil, saya pernah ikut ayah ke Penang.
Kakak saya Tjong Lan tidak dekat dengan ayah. Ia bahkan takut. Di Penang,s aya
tinggal di kapal saat ayah turun ke darat. Kemudian datanglah seorang lanjut
usia ke kapal, menyerahkan sekotak uang emas kepada saya, sambil membungkukkan
badannya dalam dalam. Saya tidak tahu benda itu uang emas inggris, yg nilainya
200,000 poundsterling. Saya kira cuma mainan. Waktu ayah datang saya sedang
bermain main dengan uang itu. Ayah bertanya darimana saya mendapatkannya. Ia
segera menyuruh orang mengembalikan uang itu.
Rupanya pria lanjut usia yang naik ke kapal itu bermaksud
menyogok ayah dengan memberi hadiah berharga kepada anak kesayangan ayah. Ayah
pantang disogok, padahal ia sering menyogok pejabat pejabat Belanda supaya
usahanya lancar.
Ayah juga tidak percaya kegunaaan pengawal pribadi. Ia lebih
yakin pada caranya sendiri. Setiap tahun ia memberi sejumlah uang kepada
kelompok bandit yang paling berpengaruh, untuk menangkal gangguan maling dan
pembunuh. Usahanya berhasil.
Keluarga kami merupakan satu satunya keluarga Cina yang tinggal
di luar pecinan. Masa itu kadang kadang orang Cina diolok olok anakanak belanda
yang bubar dari sekolah. Ayah mempunyai cara untuk menanggulanginya. Ia turun
dari kereta, lalu mendekati anak yang paling besar. Kelihatannya kami pemimpin
mereka,”katanya seraya mengangsurkan sekeping uang emas.”Tolong urus mereka.”
Uangnya dikoporkan
Ayah selalu berpakaian rapi, di luar maupun di dalam rumah.
Kalau keluar, ia selalu mengenakan setelan jas putih. Sepatunya pun putih. Di
dalam rumah ia memakai celana dari bahan batik dan jas tutup cina.
Kejantanan dihargai tinggi di kalangan orang Cina. Seorang pria
Cina boleh memiliki gundik sebanyak yang ia mampu. Kadang kadang istri pertama
mencarikan gundik bagi suaminya, tetapi ibu saya tidak sudi melakukan hal semua
itu. Ibu saya bernama Bing Nio, yang kalau diterjemahkan ke bahasa Inggris sama
dengan Victoria. Ia berasal dari keluarga Goei. Dalam keluarga itu, kaum
prianya bertubuh besar, tetapi kaum perempuannya bertubuh kecil. Nenek
moyangnya berasal dari Shantung, tetapi sudah bergenerasi generasi mereka
tinggal di Jawa. Nenek saya melahirkan 5 putri dan empat putra. Kelima putrinya
cantik-cantik. Yang paling cantik ibu saya. Kakek saya bekerja di bank dengan
penghasilan tidak seberapa.
Nenek saya dari pihak ayah mencarikan gadis paling cantik di pecinan
untuk dijadikan isteri ayah. Dari para comblang ia mendengar perihal kecantikan
ibu saya. Jadi ketika ibu berumur 15 tahun, Nenek Oei mengirimkan tandu
keemasan untuk menjemputnya. Tandu itu berarti orang tua phak laki laki
menginginkan ia menjadi menantunya. Pengantin perempuan tiba di rumah mertuanya
dengan ditandu oleh empat orang. Ia melakukan kowtow, yaitu berlutut dan
menundukkan kepala sampai dahi menyentuh lantai di hadapan mertuanya. Sampai
saat itu pengantin wanita belum pernah melihat calon suaminya, tetapi sejak itu
hanya maut yang bisa melepaskannya dari ikatan pernikahan. Pada masa itu
perceraian tidak pernah tejadi, kecuali kalau pihak perempuan melakukan salah
satu dari tujuh dosa tidak berampun.
Ayah menerima saja tradisi ini. Tidak terpikir olehnya untuk
menceraikan ibu yang tidak memberikan anak laki laki. Cuma saja ia terus
menerus menambah gundik dan banyak di antara gundiknya itu yang memberinya anak
laki laki. Ia juga tidak pernah tinggal dengan salah seorang gundiknya itu, sampai
muncul seorang gundik bernama Lucy Ho, dalam hidupnya.
Karena tidak mempunyai anak laki laki, ibu terus menerus merasa
dirinya memiliki kekurangan dan frustasi. Ayah tidak pernah menolak
permintaaannya akan kebendaan, bahkan juga setelah ibu meninggalkan ayah untuk
tinggal bersama saya di London. Ibu sering mengirim kawat untuk meminta
uang.”Kirim empat,”artinya ia meminta 4,000 poundsterling yang masa itu setara
dengan AS$ 25,000. Tanpa banyak cingcong, ayah akan mengirimkan uang sebanyak
yang diminta.
Pernah ketika masih tinggal di Semarang, ketika saya berumur
kira kira 12 tahun, saya terbangun oleh bunyi petir. Saya berlari masuk ke
kamar ibu. Ia sedang duduk di ranjang, menghitung setumpuk tinggi uang di bawah
kelap kelip lampu minyak. Saya begitu terpesona sampai melupakan ketakutan
saya. Ibu tersenyum dan berbisik,”Ayahmu pulang membawa sekoper uang. Aku
mengambilnya sebagian. Ia tidak pernah menyadarinya.
Saya heran mengapa ibu tidak meminta saja: Saya yakin ayah akan
memberikannya. Mungkin ibu tidak mau ayah tahu untuk apa uang itu. Pada masa
itu kami tidak pernah membawa bawa uang. Kalau kami menginginkan sesuatu, kami
tinggal mengambilnya saja di toko dan pemilik toko akan menagihnya kepada ayah.
Saya rasa ibu memberikan uang itu kepada keluarganya sendiri. Perempuan cina
yang tidak mempunyai anak laki laki memang memerlukan segala cara untuk
membangun egonya, kalau perlu dengan membeli. Kalau cuma untuk mencukupi
kebutuhan keluarga secara wajar saja, saya yakin ia tidak perlu melakukan
perbuatan itu. Namun kakek saya dari pihak ibu pecandu, sedangkan suami dari
beberapa saudara perempuannya sering berurusan dengan pihak berwajib.
Ayah saya lahir pada tahun harimau, sedangkan ibu pada tahun
naga. Mereka sama sama tidak mau tunduk. Namun ibu menyukai status sebagai
isteri ayah. Ia mencintai perhiasannya. Di luar rumah ia dianggap tokoh
penting. Kalau ia pergi menonton sandiwara, para pemain berlutut di hadapannya
seusai pertunjukan. Lantas ibu akan memberikan tip yang besar sekali.
Kalau pulang bertamu dari rumah nyonya belanda, sering bajunya
cuma disemat dengan peniti biasa, karena penitinya yang bertaburkan permata ia
hadiahkan kepada nyonya rumah yang mengagumi perhiasannya itu. Ayah akan
membelikannya yang baru. Yang perlu ia lakukan hanya meminta.
Bersaudara 42 orang
Saya tidak begitu kenal saudara ibu. Seorang saudara
perempuannya, menikah dengan seorang pria yang cukup berada, tetapi tidak
dikaruniai anak. Jadi, bibi saya itu mengangkat dua anak perempuan, yaitu anak
saudara suaminya. Bertahun tahun kemudian, ternyata kedua anak angkatnya itu
menjadi gundik ayah. Yang seorang Cuma bertahan sebentar, karena ia minggat
dengan sopirnya, seorang pribumi. Adiknya tidak begitu cantik, tetapi tubuhnya
indah dan ia pandai, namanya Lucy Ho.
Setelah ibu meninggalkan ayah untuk tinggal bersama saya di
London, ayah dan Lucy Ho pindah ke Singapura. Ayah keluar dari Jawa untuk
menghindari pajak. Lucy gundik yang penuh pengabdian. Ia mengurusi keuangan
dengan cermat dan ia memberi anak kepada ayah setiap tahun. Anak laki lakinya
banyak. Setelah tinggal dengan dia, ayah berubah. Walaupun uangnya tetap
banyak, ia tidak hidup mewah seperti yang disukainya semasa di Jawa.
Ironisnya dari keluarga semacam kami ialah Putri Lucy yang sudah
dewasa suatu hari ketika bertemu dengan putri Tjong Swan (Saudara saya
berlainan ibu) di New York. Mereka jatuh cinta, tetapi tidak diperkenankan
menikah oleh hukum AS, sebab ayah si pemuda adalah kakek si gadis. Mereka
akhirnya menikah juga di Belanda. Mungkin hal itu bisa terlaksana berkat
pengaruh Tjong Hauw., adik saya berlainan ibu juga.
Di antara 42 saudara saya tidak seibu, hanya Tjong Swan dan
Tjong Hauw yang cukup dekat dengan saya. Keduanya diserahi mengurus usaha ayah
di Jawa, ketika ayah sudah pindah ke Singapura. Tjong Hauw diperoleh ayah dari
seorang perempuan yang ditipunya. Perempuan itu berasal dari udik. Ia tidak mau
dijadikan gundik. Ia ingin dijadikan istri. Ayah setuju, perempuan itu dijemput
dengan tandu. Namun di rumah tempat ia dibawa dilihatnya tidak ada pesta, tidak
ada mertua. Walaupun demikian ia tidak bisa kembali ke orangtuanya sebab akan
memberi aib. Hampir saja ia gila. Walaupun ia memberi ayah empat putra, ayah
memperlakukannya dengan kejam. Sebelum ia disingkirkan, ayah menyuruhnya
menjahitkan kelambu untuk gundik berikutnya.
Bandot
Sebelumnya ayah saya sudah menjadikan seorang janda sebagai
gundiknya. Ny Kiam membawa serta adik perempuannya yang berumur kira kira
sepuluh tahun dan seorang anak perempuannya yang berumur dua atau tiga tahun.
Ny Kiam sangat mencintai ayah, tetapi ia tidak memberi ayah keturunan. Ketika
adiknya berumur 15 atau 16 tahun, ayah menjadikannya gundiknya. Perempuan itu
melahirkan lima anak laki laki dan empat anak perempuan.
Karyawan ayah menyebutnya isteri nomor dua. Di rumah kami tidak
ada yang berani mempergunakan sebutan itu, karena ibu tidak menyukainya.
Kenyataannya ia memberi ayah banyak anak laki laki. Ayah tidak menyukai
putranya yang pertama karena sangat dimanjakan oleh ibunya. Ayah memilih
putranya yang kedua Tjong Swan untuk menjadi andalannya di samping Tjong Hauw.
Lama setelah itu,, ketika saya sudah menikah dengan Wellington
Koo dan singgah di Penang dalam perjalanan dari London menuju Beijing, dua
orang perempuan wajahnya menyenangkan menemui saya,”Kami adik adikmu,”kata
salah seorang diantaranya sambil tersenyum. Ternyata mereka itu putri putri
ayah dari cucu Ny. Kiam. Rupanya ketika ayah sudah bosan pada istri nomor dua
(adik Ny. Kiam), ayah menyingkirkannya untuk digantikan oleh anak Ny. Kiam,
yang ketika ibunya menjadi gundik ayah masih berumur 2 atau 3 tahun. Putri Ny.
Kiam itu mempunyai dua anak perempuan dan kedua duanya berkelingking bengkok.
Kedua duanya menikah dengan orang berada. Kata mereka, nenek mereka masih
tinggal di rumah pemberian ayah di Jawa.
Tahun 1927, Ketika saya kembali ke Jawa untuk menghadiri
pemakaman ayah, Ny. Kiam mendekati saya dengan kemalu-maluan. Ia memanggil saya
Nona dan menyerahkan gigi palsu ayah yang rupanya ia simpan bertahun tahun
untuk dimasukkan ke liang kuburnya. Saya turuti kemauannya, sebab saya pikir
ayah akan menganggapnya lucu.
Berlainan dengan Ny. Kiam, gundik yang dulu ditipu ayah itu,
yang melahirkan Tjong Hauw, tidak datang ke pemakaman. Saya mengunjunginya di
rumahnya. Saya lihat ia masih memakai pending bertatahkan intan pemberian ayah:
Rupanya walaupun ia diperlakukan dengan buruk oleh ayah, ayah tidak
membiarkannya telantar.
Saya ingat, semasa kecil, saya keras dibawa ayah ke rumah gundik
gundiknya. Mereka tentu berusaha mengambil hati saya, supaya ayah senang. Namun,
ketika ibu tahu, ayah dimaki makinya. Ibu kemudian minggat dari rumah dengan
membawa saya. Saya sakit keras dan dokter yang merawat saya memberitahu ayah.
Ketika itu ibu tetap tidak mau kembali. Ia baru pulang 2 bulan kemudian ke
rumah kami yang seperti istana.
Menjamu Raja Siam
Rumah kami terletak di atas lahan yang luasnya lebih dari 93 ha.
Rumah model cina ini mempunyai taman yang dirancang khusus dengan kolam kolam
dan jembatan jembatan. Tukang kebun kami memiliki lima puluh anak buah. Dapur
kami ada tiga. Ibu mempunyai juru masak sendiri, yang keahliannya memasak
makanan Indonesia, sebab Ibu menyukai masakan indonesia. Ayah menyukai masakan
Cina dan Eropa. Dapur untuk memasak makanan Eropa dikuasai oleh mantan koki
kepala gubernur jenderal. Di situ tergantung daging impor dari Australia. Tidak
seorangpun diperkenankan masuk ke sana oleh mantan koki gubjen itu. Saya pernah
iseng memasukkan anjing besar ke sana yang lantas menggondol daging impor.
Dapur ketiga diurus oleh dua orang koki Cina.
Jauh di belakang ada perumahan para pelayan. Masih ada lagi
rumah untuk guru pribadi kami (nona Jones), koki kami, tukang pijit ibu, dan
tukang cuci pakaian ibu. Untuk para tamu tersedia dua pavilyun.
Ayah sering menjamu dan perjamuannya tidak tanggung tanggung.
Kami pernah menjamu raja Siam berikut haremnya. Kami pun pernah diundang makan
di kediaman gubernur jenderal Hindia Belanda.
Tjong Lan dan saya tidak bersekolah di sekolah umum, padahal
sebenarnya saya ingin memiliki teman teman sebaya. Paling paling saya bisa
bermain ke rumah keluarga Belanda yang tinggal di lahan kami, Ibu pun tidak
pernah mengundang anak saudara saudaranya ke rumah kami.
Banyak yang diundang,
tidak ada yang datang
Ketika saya berumur 15 tahun, saya katakan kepada ayah, saya
ingin mengadakan pesta dansa bergaya inggris, seperti yang saya baca di The
Tatler. Ayah memperbolehkan. Memang saya diistimewakan, karena dianggap membawa
rezeki, bintangnya naik terus setelah kelahiran saya.
Ayah menyewa 16 pemain musik yang dulu disewanya untuk perjamuan
raja Siam. Kamar makan kami dan pavilyunpanjang disiapkan untuk berdansa. Ayah
secara santai juga menyampaikan kepada para rekanan dagangnya agar mendatangkan
anak anak mereka ke pesta saya.
Hari besar itu pun tiba. Para pemain musik datang dan menunjukkan
kebolehannya, tetapi tidak ada seorang tamu pun yang datang. Saya menangis dan
ayah marah sekali kepada para rekanannya. Kalau saya ingat lagi peristiwa itu.
Saya pikir, kami juga yang salah. Mestinya kami mengirimkan kartu undangan
resmi, sehingga mereka akan memberi tahu kalau tidak datang.
Untuk meredakan kemarahan ayah, pengacaranya Baron van Heeckeren
mengusahakan agar putri putrinya mengadakan pesta dansa untuk menghormati saya,
dengan mengundang teman teman Belanda. Saya yakin maksud mereka baik, tetapi
saya terlalu angkuh untuk hadir.
Dicekoki Bahasa Inggris
Waktu kami pergi ke Belanda saya puasa juga karena ternyata
Bahasa Belanda saya lumayan. Kemudian ketika sudah menjadi isteri Wellington
Koo dan suama saya dijadikan duta Cina di AS, bahasa Belanda itu masih ada
gunanya. Pernah kami mengundang pemain film termasyhur waktu itu Tyrone Power
dan isterinya Linda Christian. Linda yang pemalu itu berasal dari Belanda. Ia
begitu tercengang mendapatkan isteri duta Cina bisa berbahasa Belanda.
Di Rumah , ayah biasa berbahasa Hokkian, tetapi dengan saya ia
berbahasa Indonesia. Bahasa pertama yang saya pelajari lewat pengasuh saya.
Kemudian kakak saya mendapat pengasuh yang diimpor dari Prancis dan kami
belajar bahasa Perancis. Ayah meminta Pietro mendatangkan guru pribadi buat
kami dari Eropa dan datanglah seorang Inggris, Nona Elizabeth Jones yang
mencekokkan bahasa Inggris kepada kami. Akhirnya saya lancar berbahasa Inggris
dan tetap menjadi anak didiknya sampai saya meninggalkan jawa untuk tinggal di Inggris
pada umur 15 atau 16 tahun.
Lewat tengah hari, kalau Tjong Lan dan saya sudah selesai
belajar dari Nona Jones, datanglah pelbagai guru pribadi. Ada yang mengajarkan
kaligrafi, seni berbicara, tarian cina klasik dan juga musik. Ibu ngin anak
anaknya tidak pemalu dan pandai bergaul, supaya bisa memperoleh suami yang
hebat. Saya pun disuruh belajar menunggang kuda di Singapura.
Tjong Lan lebih tertutup daripada saya. Ketika masih berumur
belasan tahun, ia jatuh cinta dntgan seorang dokter muda. Ibu melakukan
penjajakan lewat comblang. Ternyata keluarga pria itu ingin ayah membiayai
praktek putranya. Ayah marah, ia tidak mau membli menantu. Kalau saja Ibu mau
menolong Tjong Lan, mungkin ayah bisa dibujuk, tetapi ibu sependapat dengan
ayah.
Mula mula Norak
Ibu tidak suka ikut dengan ayah meninjau perkebunan, tetapi saya
sering dibawa serta. Ibu baru ikut kalau ayah pergi ke luar negeri. Waktu kami
sekeluarga pergi ke Eropa untuk pertama kalinya, kami membawa serta beberapa
pelayan. Pietro menjadi juru bahasa ayah dalam mengadakan pelbagai transaksi,
sedangkan isterinya yang bisa berbahasa Indonesia sedikit, mengantar ibu dan
Tjonglan berbelanja.
Ibu menyingkirkan pakaian Cinanya untuk diganti dengan pakaian
Eropa. Masa itu kami jauh dari anggun. Kemana mana kami beriring iringan dengan
beberapa mobil atau kereta. Selera Pietro pun tidak halus, padahal kami
mengandalkan petunjuknya. Kami tinggal di hotel hotel kelas dua seperti Charing
Cross di London dan Grand di Paris, meskipun seluruh lantai diborong. Ketika
kami ke AS , ayah sudah berpengalaman. Kami tinggal di Waldorf Astoria.
Setahun lamanya kami tinggal di Luar negeri. Ayah dan Pietro
bekerja sedangkan ibu dan Tjong Lan keluar masuk toko. Ibu tidak mau membeli
barang sembarangan. Ia selalu ingin paling top. Kalau sudah bosan berbelanja,
mereka masuk ke salon kecantikan. Malamnya, ibu, ayah, Tjong Lan dan Pietro
makan di restoran dan pergi ke kelab malam. Sementara itu saya kesepian di
hotel. Kadang kadang saya ditemani oleh Ny. Pietro. Sementara itu para pelayan
makan makanan Indonesia yang mereka masak sendiri. Bahan bahannya dibelikan
oleh Pietro.
Lama kemudian, ketika saya sudah menjadi isteri Wellington Koo,
saya sering geli mengingat betapa naif dan tidak anggunnya kami masa itu. Saya
membayangkan betapa tercengangnya orang orang Eropa melihat ibu dan Tjong lan
keluyuran memakai perhiasan Intan, mirah dan Zamrud serta seenaknya memesan
barang mahal tanpa menanyakan dulu harganya.
Mobil Ditarik Sapi.
Ketika kami masih tinggal di Semarang, Tjong Lan yang waktu itu
berumur 18 tahun dijodohkan dengan putra teman ibu. Teman ibu di Jakarta itu
mempunyai putra yang baru pulang dari Belanda. Ia lancar berbahasa Belanda,
Inggris dan Perancis. Namanya Ting Liang dari keluarga Kan yang kaya dan
terkemuka. Mereka menikah di rumah kami. Keluarga ibu tidak diundang, sebab
ayah marah kepada mereka.
Setelah Tjong Lan menikah, ibu bercerita kepada saya bahwa ia
menguatkan hatinya untuk tetap tinggal di rumah kami, supaya Tjong Lan bisa
menikah di rumah itu. Tjong Lan dan suaminya pergi ke Eropa selama setahun dan
ketika kembali mereka membawa mobil kecil buatan perancis. Masa itu belum ada
mobil di tempat kami. Suatu hari saya mencuri curi mengendarainya dan menabrak
pohon.
Begitu melihat mobil Tjong Lan, ayah segera memesan mobil Lancia
yang besar dari Inggris, untuk mengemudikannya, ayah mendatangkan sopir dari
Jakarta, yang berpengalaman mengemudi di Singapura. Bila dipakai di jalan rata,
Lancia itu tidak merongrong, tetapi begitu mendaki bukit ia tidak kuat
menanjak, sehingga sopir harus pergi meminjam 4 ekor sapi untuk menghelanya ke
rumah kakek atau ke pesangrahan ibu.
Kemudian ayah mengimpor sopir dari Inggris, namanya Powell.
Anehnya, sejak dikemudikan Powell, mobil itu bisa menanjak tanpa bantuan
ternak. Jangan jangan sopir lama tidak tahu kalau mobil perlu ganti gigi supaya
bisa menanjak.
Tjong Lan tinggal dalam sebuah rumah dalam lingkunganhalaman
kami juga. Para pelayannya semua dari rumah kami, makanan untuknya dan untuk
suaminya dibawakan dari tempat kami. Sya bisa mengerti kalau suaminya tidak
betah dan tidak mau bekerja di perusahaan ayah. Ia ingin menjadi dokter dan
ayah mengirimkannya ke Eropa. Waktu itu mereka sudah mempunyai bayi, Bob Kan.
Seingat saya ipar saya kemudian tidak pernah membuka praktik. Anak mereka
kemudian belajar di Eropa di Eton (sekolah menengah mahal dan berprestise di
Inggris) dan kuliah di Cambridge Inggris.
Ketika ayah sakit, doktenya mengusulkan agar ayah beristirahat
di Eropa. Sekali lagi ibu dan saya ikut. Pietro sudah pensiun tetapi ayah
mempekerjakannya lagi setahun. Ia menyewakan rumah bagi kami di Paris. Sekali
ini bahasa Prancis saya sudah bisa diandalkan untuk menjadi penerjemah ibu. Ibu
lebih mempercayai selera kakak ipar saya daripada selera Pietro. Ia begitu
jatuh hati kepada menantunya, sehingga kakak saya dibelikannya sebuah rumah
besar yang dilengkapi beberapa pelayan di Wimbledon Inggris.
Ketika ayah, ibu dan saya pulang ke Jawa, saya merasa kehidupan
saya tidak kembali seperti semula. Ibu sudah tidak tahan tinggal di Semarang,
sebab gundik gundik ayah mempunyai sejumlah anak laki laki yang meningkat
dewasa dan merekalah yang akan mewarisi perusahaan ayah. Apalagi kemudian ayah
menyingkirkan semua gundiknya demi Lucy Ho. Namun tentu saja tidak terlindak
dalam pikiran ibu untuk bercerai.
kelanjutan kisah ini sangat memilukan. Ayah hui lan
meninggal mendadak diduga dibunuh oleh lucy ho, hui lan tidak percaya kalau
ayahnya mati dan meminta otopsi. tapi sayang ibunya tidak mendukung, ia pun
harus merelakan kepergiaan ayahnya. Setelah meninggal ayahnya membagi hartanya
secara tidak merata kepada anak-anaknya, itulah yang menjadi awal kehancuran
keluarga oei hui lan. Pemerintah Indonesia pada era soekarno memutuskan
menasionalisasi perusahaan ayah hui lan dan saat ini perusahaan itu menjadi
badan usaha negara pt rajawali nusantara yang sedang menjadi perbincangan
karena melibatkan terjadinya kisruh ketua Kpk yang diduga membunuh direktur
utamanya nasarudin.
hingga saat ini konflik keluarga hui lan masih terjadi walaupun
sudah 2 abad lamanya.. walau mereka semua tlah tiada, setiap cucu-cucunya pun
ikutan ribut tentang warisan
nah inilah sejarah yang panjang tentang pluralisme dan lahirnya
bangsa indonesia.
0 komentar:
Posting Komentar